Aku Bangga Menjadi Murid Gunung Hua. (Bagian 1)
Bahkan, postur hormatnya pun tampak seperti lukisan yang indah.
Meskipun baru saja menyelesaikan satu ronde pertandingan, tidak ada setitik debu pun yang menempel pada seragam Baek Chun yang berwarna putih bersih. Penampilan itu sendiri seakan menunjukkan kemenangan yang bersih dan sempurna.
“…… apakah dia menang?” –tanya seorang penonton
“Apa kau tidak punya mata? Apa itu terlihat seperti kekalahan bagimu?” –balas seorang penonton
“T-Tidak, aku hanya tidak percaya. Itu adalah tingkat keterampilan yang benar-benar membuat lawannya kewalahan.” –ucap seorang penonton
Para penonton bahkan tidak bisa bersorak.
Sejauh ini, mereka telah memuji Jo-Gol atas keberaniannya dan bertepuk tangan atas kemauan Yoon Jong.
Namun, sorak-sorai itu lebih merupakan sorakan untuk si ‘lemah’ yang tampil bagus saat melawan Wudang di posisi ‘kuat’.
Namun, pedang Baek Chun yang diperlihatkan beberapa waktu lalu sama sekali bukan pedang milik ‘si lemah’.
“…… Gunung Hua mengalahkan Wudang dengan mudah? Dan hanya dengan murid kelas dua?” –sontak seorang penonton
“Omong kosong! Dia sudah terkenal dengan reputasinya di Kangho. Bagaimana kau bisa memperlakukan orang seperti itu hanya sebagai murid kelas dua?” –seru seorang penonton
“Apakah reputasi mengubah generasi? Tidak peduli bagaimana kau mengartikannya, bukankah murid kelas dua tetaplah murid kelas dua!” –seru seorang penonton
“…… itu benar.” –ucap seorang penonton
Kekecewaan para penonton terlihat jelas.
“Apakah Gunung Hua benar-benar kuat melebihi Wudang?” –tanya seorang penonton
“Omong kosong apa itu?” –balas seorang penonton
“Lihat! Gunung Hua telah memenangkan tiga pertandingan berturut-turut. Tidak, termasuk pertandingan pertama yang tidak dihitung, itu adalah kemenangan empat kali berturut-turut.” –ucap seorang penonton
“…….”
“Sekali atau dua kali, mereka bisa menang secara kebetulan. Namun, siapa bilang menang empat kali beruntun adalah sebuah keberuntungan? Jika ini adalah keberuntungan, lalu apa yang bukan keberuntungan?” –ucap seorang penonton
Bahkan mereka yang diam-diam membela Wudang tidak bisa menahan komentar itu.
“Dan! Bahkan jika pertempuran lainnya mereka kalah, ini…” –ucap seorang penonton
Orang yang sedang membicarakan sesuatu menutup mulutnya rapat-rapat seolah-olah dia tidak bisa menahan kegembiraannya. Dengan mata gemetar, dia melihat ke panggung untuk waktu yang lama sebelum akhirnya terengah-engah dan berbicara.
“Bukankah ini pertandingan dengan perbedaan keterampilan yang jelas kali ini?” –ucap seorang penonton
“…….”
Semua orang menatap panggung dengan ketidakpercayaan di wajah mereka. Mereka menahan napas dengan sangat kuat sehingga mereka bisa mendengar suara menelan air liur.
Mereka semua datang ke sini untuk hiburan.
Tidak ada yang menyangka Gunung Hua akan tampil begitu baik melawan Wudang.
Tapi sekarang pemandangan di depan mata mereka benar-benar menghancurkan perkiraan mereka.
“Apakah-apakah Gunung Hua benar-benar akan mengalahkan Wudang?” –tanya seorang penonton
“Mungkin saja begitu.” –balas seorang penonton
Mereka yang menonton menelan air liur kering.
Namun, pikiran orang-orang yang cerdas di antara mereka sedikit berbeda.
Mulai sekarang, bahkan jika Wudang memenangkan pertandingan berturut-turut, hanya empat kemenangan beruntun yang diraih Gunung Hua yang akan dibahas. Publik tidak menyukai apapun selain sekte yang lemah mengalahkan sekte yang kuat.
Jika suatu hari nanti Gunung Hua dinilai telah melampaui Wudang, itu pasti akan dimulai dengan pertandingan tanding ini.
Publik menatap kedua kubu dengan wajah tegang. Memang, kegembiraan dan kesedihan saling bersinggungan.
Mu Ho turun dari panggung dengan kepala tertunduk, tidak bisa berkata apa-apa.
“…….”
Heo Sanja menatapnya dengan mata sedih.
Apa yang bisa dia katakan?
Jika itu adalah kekalahan karena kecerobohan, dia akan memarahinya. Jika dia tidak menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya karena ketegangan, dia mungkin akan dimarahi dengan keras.
Tapi itu bukan kecerobohan atau kegugupan. Itu adalah kekalahan total dalam hal kekuatan dibandingkan dengan lawan.
Yang kalah jelas kembali dengan kekalahan, apa lagi yang bisa dia katakan tentang hal itu?
“…….”
Heo Sanja hanya menatap Mu Ho dengan bingung, tidak bisa berkata apa-apa.
Mu Jin, yang memperhatikan dari belakang, menghela nafas dan membuka mulutnya, bukan Heo Sanja.
“…… kau sudah bekerja keras.” –uca Mu Jin
“Ya, Sahyung.” –sahut Mu Ho
“Istirahatlan dan rawat dirimu.” –ucap Mu Jin
“… Aku tidak berhasil memberikan luka.” –ucap Mu Ho
Mu Jin sangat menyadari kepahitan yang terkandung dalam kata-kata itu.
Fakta bahwa dia bahkan tidak mendapatkan goresan meskipun dikalahkan lebih memalukan daripada kekalahan itu sendiri.
Sayangnya, bagaimanapun, Heo Sanja, yang seharusnya menghibur kepahitannya, menghabiskan semua energinya hanya dengan menerima situasi yang dia hadapi.
“Masuklah.” –ucap Mu Jin
“……Ya.” –sahut Mu Ho
Bahu Mu Ho terkulai. Melihat bahunya, dada Mu Jin mulai terasa panas seperti api.
“Tetua.” –panggil Mu Jin
Dia mengertakkan gigi dan berbicara dengan suara rendah.
“Apakah ini hasil yang diinginkan Tetua?” –tanya Mu Jin
Dia telah menjalani seluruh hidupnya di bawah disiplin yang ketat dari Wudang.
Dia tidak pernah berpikir untuk mempertanyakan atasannya atau meminta alasan dan keadilan. Namun, situasi saat ini sudah cukup untuk mematahkan kesabaran Mu Jin.
“Kehormatan telah jatuh, dan sekarang bahkan pembenaran kita telah hilang. Dunia akan memuji Gunung Hua dan mencela Wudang.” –ucap Mu Jin
Mu Jin bergidik dengan bibir terkatup rapat untuk menahan amarah yang mendidih.
“Jika saya keluar, saya tidak akan dikritik karena kalah seperti ini. Apakah hasil yang diinginkan Tetua benar-benar kekalahan telak seperti ini?” –tanya Mu Jin
“Dasar berandal!” –teriak Heo Sanja
Seolah-olah dia tiba-tiba tersadar, Heo Sanja tiba-tiba berteriak.
“Beraninya murid kelas satu Wudang menatap dan menghadapi Tetua sekte seperti ini! Apakah ini cara sekte mengajarkanmu!” –teriak Heo Sanja
Mata Heo Sanja memerah. Tapi Mu Jin merasa lebih kecewa lagi mendengar jawaban itu. Sebelum membahas benar dan salah, kata-kata Heo Sanja, yang memarahinya karena sikapnya, membuatnya semakin sedih dan murung.
“Tidak ada yang perlu di kawatirkan.” –ucap Heo Sanja
“…….”
“Semua berjalan lebih buruk dari yang aku kira, tapi ini semua masih dalam ekspektasiku.” –ucap Heo Sanja
“Tetua!” –seru Mu Jin
“Kita bisa menang mulai sekarang! Baik itu kalah lima kali atau enam kali! Tidak masalah meskipun kita kalah sembilan kali! Kita hanya perlu menang sepuluh kali! Tidak peduli berapa kali kita kalah!” –seru Heo Sajna
“…….”
“Yang penting adalah hasilnya. Satu-satunya hal yang penting adalah hasilnya!” –seru Heo Sanja
Bibir Mu Jin yang tergigit rapat menjadi pucat.
Kata-kata Heo Sanja tidak berubah sedikit pun dari sebelumnya. Logika di balik kata-katanya juga sama seperti yang pertama. Tapi itu sangat dangkal.
Heo Sanja sekarang benar-benar diliputi oleh emosinya. Dia tidak mencari kesimpulan dengan mempertimbangkan pro dan kontra, melainkan tidak mau mengakui bahwa dia salah.
‘Apakah dia selalu sedangkal ini?’ –batin Mu Jin
Sekte-nya memang merupakan tempat yang bagus di mana aroma Taoisme yang luhur terukir dalam-dalam.
Namun pada saat ini, Mu Jin merasa seperti melihat sisi lain dari kebesaran sekte tersebut.
‘Apa gunanya memiliki kehebatan itu hanya di dalam sekte?’ –batin Mu Jin
Apa gunanya jika seseorang tidak dapat mempertahankan postur dan semangat mereka segera setelah mereka meninggalkan sekte dan dikalahkan oleh dunia?
Mu Jin memandang Gunung Hua dengan wajah sedih.
‘Ini sembrono…… itu kasar…….’ –batin Mu Jin
Bebas tanpa batas.
Inti dari Tao adalah merangkul dunia dan alam di dalam diri sendiri dan menjadi satu dengannya. Jika demikian, bukankah sisi itu akan lebih seperti Tao itu sendiri daripada terikat oleh aturan-aturan yang ketat?
Mu Jin memejamkan matanya rapat-rapat.
Namun, dia tidak bisa menahan sorak-sorai menyakitkan dari murid-murid Gunung Hua yang berdengung di telinganya.
“Luar biasa! Sasuk benar-benar luar biasa!” –seru para murid Gunung Hua
“Sahyung! Itu adalah yang terbaik!” –seru para murid Gunung Hua
“Wow, aku bahkan tidak bisa menirunya!” –seur para murid Gunung Hua
Sorak-sorai gemuruh mengalir ke arah Baek Chun saat ia turun dari panggung.
Itu adalah hal yang wajar.
Meskipun yang lain telah berjuang keras, tidak ada yang menunjukkan superioritas yang sama kuatnya dengan Baek Chun.
Mereka berpura-pura acuh tak acuh sepanjang waktu, tapi gunung Wudang yang sangat besar selalu membebani pundak mereka. Tapi saat ini, Baek Chun merobek gunung besar itu dengan satu pukulan.
“Itu benar-benar keren.” –ucap seorang murid Gunung Hua
“Bagaimana sahyung bisa menggunakan teknik pedang seperti itu? Ajari aku juga, Sahyung!” –seru seorang murid Gunung Hua
Baek Chun menyeringai saat melihat murid-murid Gunung Hua mengerumuninya.
“Jangan terlalu menyanjung. Aku merasa malu.” –ucap Baek Chun
“Tidak! Ini adalah sesuatu yang bisa dibanggakan!” –ucap seorang murid Gunung Hua
“Ah, sungguh memalukan! Mu Jin seharusnya yang keluar melawanku!” –ucap Baek Chun
Baek Chun bingung apa yang harus dilakukan dengan senyumnya yang terus mengembang. Melihat Sahyungnya bersorak dan bergembira hanya membuat perasaannya semakin membuncah.
‘Jadi ini yang kau maksudkan.’ –batin Baek Chun
Apa arti dari ‘Orang yang akan mengangkat nama Gunung Hua’.
Itu berarti bersinar dari tempat tertinggi.
Itu bukan hanya tentang Baek Chun yang menjadi kuta dengan sendirinya.
Itu berarti memimpin murid-murid Gunung Hua dengan cara yang berbeda dari Yoon Jong. Baek Chun, yang akhirnya mengerti maksud Chung Myung, tersenyum dan menoleh.
‘Bagaimana menurutmu? Aku melakukannya dengan sempurna …..’ –batin Baek Chun
Namun pada saat itu, Baek Chun menegang seperti batu.
Chung Myung dan Jo-Gol melihat ke arahnya dengan tangan yang bersila di dada mereka dan dengan wajah yang tidak puas …. dan… Hah?
‘Yoon Jong? Kenapa kau ada di sana? Yoon Jong…….’ –batin Yoon Jong
Chung Myung meludah ke tanah dan berkata dengan lembut.
“Kau adalah pahlawan sekarang, bukan?” –ucap Chung Myung
“Kenapa? Sasuk selalu hebat, kan?” –ucap Yoon jong
“Aigooo, mataku terpesona. Dia sangat terang, aku bisa buta.” –ucap Jo Gol
“…….”
Yoon Jong dan Jo-Gol memelototi Baek Chun seolah-olah mereka adalah anak kecil yang kehilangan mainan.
“Yah, dia akan menang dengan mulus bahkan jika dia tidak melakukannya dengan begitu mencolok.” –ucap Jo-Gol
Mata Baek Chun berbinar seolah-olah dia sedang dalam suasana hati yang baik.
“Tidak, kau bajingan! Sasuk kalian menang dan kembali, ada apa dengan reaksi seperti ini?” –tanya Baek Chun
“Kita sedang merayakannya, kan?” –balas Jo-Gol
“Aigoooo! Selamat, Sasuk! Aku sangat tersentuh sampai aku merasa ingin menangis… T-Tidak, tunggu, jangan cabut pedangmu. Eheyy..” –ucap Jo Gol
Mereka melompat mundur dengan panik.
Baek Chun mengertakkan gigi, mengerutkan alisnya yang rapi.
Seharusnya ia selalu mengingat bahwa murid-murid Gunung Hua yang lain dan para bajingan itu harus dianggap berbeda.
Baek Chun memelototi Chung Myung yang masih berdiri di sana.
“Aku melakukan apa yang diperintahkan, jadi kau tidak akan memiliki keluhan, kan?” –ucap Baek Chun
“Ya ya. Cepatlah masuk. Kenapa kau meregangkan lehermu seolah-olah kau melakukan sesuatu yang hebat? Lehermu mungkin akan segera patah.” –ucap Chung Myung
“… Bajingan.” –ucap Baek Chun
Akhirnya, kata-kata kasar pun terlontar.
‘Aku bodoh karena mengharapkan sesuatu dari orang-orang itu.’ –batin Baek Chun
Baek Chun menarik napas dalam-dalam dan menoleh ke arah tempatnya
Meskipun mereka merasa kesal dan jengkel, murid-murid Gunung Hua yang lain menatapnya dengan iri.
Bahkan para Tetua.
“Baek Chun.” –panggil Hyun Sang
“Ya, Tetua.” –sahut Baek Chun
“Kau melakukan pekerjaan yang hebat.” –ucap Hyun Sang
Baek Chun menyeringai saat Hyun Sang menepuk pundaknya.
“Tidak, aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.” –ucap Baek Chun
“Wow, lihat apa yang dikatakan oleh yangban itu!” –seru Jo-Gol
“Gol-ah, dia bisa mendengarmu, pria itu. Bicaralah dengan pelan.” –ucap Yoon Jong
‘Yoon Jong, kau bajingan …..’ –batin Baek Chun
‘Kau seharusnya menyuruhnya untuk tidak mengatakan hal seperti itu, apa maksudmu mengatakannya dengan pelan?’ –batin Baek Chun
Baek Chun menghela nafas dalam-dalam.
‘Pokoknya, para bajingan ini …….’ –batin Baek Chun
Bagaimanapun juga, semua orang memiliki bakat untuk menggaruk bagian dalam tubuh orang lain. Baek Chun segera menyeringai dan melirik ke arah perkemahan Wudang.
Ada saat-saat seperti itu juga
Pasti ada saat-saat dimana dia iri pada Wudang
Tentu saja, bohong jika dia tidak pernah menyesal meninggalkan Sekte Ujung Selatan dan memilih Gunung Hua. Seandainya dia memilih Wudang dan bukan Gunung Hua, dia tidak akan pernah menderita penghinaan dari Sekte Ujung Selatan. Mengapa dia tidak begadang sepanjang malam memikirkan hal seperti itu?
Tapi sekarang …….
‘Aku bangga menjadi murid Gunung Hua.’ –batin Baek Chun
Kebanggaan tidak hanya datang dari kekuatan. Sekarang, Baek Chun merasakan kebanggaan yang membuat dadanya terasa sejuk hanya karena dia adalah murid Gunung Hua.
Mungkin sedikit kasar, berisik, dan terkadang membuat frustasi, tetapi tidak ada sekte lain di dunia yang sehangat dan sebangga sekte ini.
“… Wajahnya mengatakan bahwa dia sedang mabuk pujian sekarang.” –ucap Jo-Gol
“Tinggalkan dia sendiri. Biarkan dia mabuk pujian sekarang, dia tidak mungkin sadar dari pujian-pujian itu.” –ucap Chung Myung
‘Para bajingan busuk itu…’ –batin Baek Chun