Translatator: Chen Return of The Mount Hua – Chapter 1001 Setelah semua itu (1)
* * * FLASH BACK * * *
“Tetua, tetua!” -ucap murid
Dengan suara mendesak, Song Hwa sesepuh Wudang bertanya dengan wajah pucat.
“Bagaimana situasinya?” -ucap Song Hwa
“Kita tidak bisa melawan mereka! Kita bahkan kalah jumlah!” -ucap murid
“I-ini…” -ucap Song Hwa
Keringat dingin mengucur di keningnya.
‘Kenapa harus di tempat ini?’ -ucap Song Hwa
Dia bisa merasakannya. Seolah ada satu gunung yang memisahkan tempat ini dari sana. Seolah-olah seluruh tubuhnya ditusuk dengan ribuan jarum, dan energi sihir yang kental mencekik napasnya.
“Tetua, tetua! kita membutuhkan rencana…!” -ucap murid
Ujung jari Song Hwa bergetar.
Sebuah rencana? Tentu saja, mereka membutuhkan sebuah rencana. Lagipula, penanggung jawab di sini adalah Song Hwa.
Tapi rencana macam apa yang mungkin ada?
Mereka telah mengerahkan semua kekuatan yang tersedia di sini. Tiga puluh murid elit dari sekte utama Wudang telah dibawa untuk bersiap menghadapi situasi yang tidak terduga.
Masing-masing dari mereka adalah elit di antara elit pedang Taeguk, yang mampu menggunakan pedang Yin dan Yang, kebanggaan Sekte Wudang. Tapi bahkan mereka tidak bisa menghentikan gerak maju musuh, dan hanya menumpahkan darah tanpa daya.
Namun solusi apa yang bisa dilakukan selain itu?
“Jika tempat ini jatuh, bagian belakang kita akan terbuka seluruhnya! Tetua!” -ucap murid
“Aku tahu!” -ucap Song Hwa
Song Hwa meninggikan suaranya dengan gugup.
Tempat yang mereka jaga adalah area paling belakang dari para penyerang. Jika tempat ini runtuh, jalan keluar bagi mereka yang memasuki Gunung Besar akan terputus. Kalau begitu, akan sangat jelas apa yang akan terjadi.
Mereka harus memblokirnya dengan cara apa pun, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawa mereka, tidak, bahkan lebih dari nyawa mereka.
Tetapi…
“Apa yang harus kita lakukan?” -ucap Song Hwa
Keringat mulai bercucuran di wajah Song Hwa bagaikan hujan.
Sesuatu yang mendekat dari seberang jalan bukanlah seseorang yang bisa dihentikan dengan tekad seperti itu.
“Bisa apa Aku, jika itu adalah Uskup!” -ucap Song Hwa
Seolah sedang marah, Song Hwa mengepalkan gagang pedangnya.
Awalnya, dia bahkan tidak mempertimbangkan kemungkinan kedatangan uskup ke tempat ini. Jika dia memikirkan kemungkinan seperti itu, dia tidak akan memerintahkan pertahanan belakang dengan kurang dari lima puluh orang.
Pada saat itu.
Kwaaaaaaah!
Sebuah kekuatan luar biasa melonjak dari balik gunung. Saat Song Hwa merasakan energi yang luar biasa, tanpa sadar dia mundur lima langkah. Tetapi wajahnya tidak perlu memerah karena murid-murid lain di sekitarnya juga sama.
“Uh…”
Itu adalah sebuah bencana. Makhluk yang paling dekat melayani Iblis Surgawi, meskipun mereka takut untuk membicarakannya.
“Bagaimana bisa ada 12 uskup disini…?” -ucap Song Hwa
Jika Iblis Surgawi adalah sesuatu yang tidak dapat ditangani manusia dengan kekuatan mereka sendiri, para uskup ini adalah ancaman nyata, menancapkan kuku mereka ke leher mereka.
Pusaran ilmu hitam menyapu seperti pisau. Erangan tertahan keluar dari mulut Song Hwa.
“Minta bala bantuan!” -ucap Song Hwa
“Baik tetua!” -ucap murid
“Cepat, minta bala bantuan sekarang! Beritahu mereka ada uskup di sini! Kita tidak bisa bertahan di sini sendirian! Segera!” -ucap Song Hwa
“Kami sudah meminta bala bantuan! Tapi…” -ucap murid
Song Hwa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya tanpa mendengar kata-kata berikut ini.
Kekuatan utama yang memiliki kekuatan untuk menghadapi uskup jauh dari sini. Bagaimana mereka bisa menemukan bajingan yang siap menghadapi uskup dan bergabung dalam pertempuran?
“Uaaaargh!”
Saat itulah mata Song Hwa melihat dengan jelas penampakan murid-murid Wudang yang sedang dicabik-cabik.
Hancur, persis seperti kedengarannya.
Tersapu oleh angin ilmu hitam, para murid Wudang tidak meninggalkan jejak dan hancur menjadi pecahan-pecahan yang tersebar di seluruh gunung yang gelap.
“Ah…” -ucap Song Hwa
Rahang Song Hwa mulai bergetar tanpa sadar.
Sekalipun mereka berusaha melawan, bagaimana mungkin mereka bisa bertahan? Apa yang bisa dilakukan manusia saat menghadapi setan yang bukan manusia?
“Mundur…” -ucap Song Hwa
“Ya?” -ucap murid
Kata-kata yang seharusnya tidak pernah diucapkannya keluar dari mulut Song Hwa. Dia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Itu adalah situasi yang sangat mustahil. Jika tempat ini tertembus, mereka bahkan tidak bisa membayangkan betapa besar kerusakan yang akan terjadi. Jika mereka ragu untuk menumpahkan darah, mereka harus membayar setiap tetes darah yang tersisa dengan ribuan tetes.
Dia tahu. Dia tahu itu!
Namun…
“Huek.” -ucap Song Hwa
Dia bergidik karena keinginan untuk muntah yang tiba-tiba. Jika mereka tetap di sini, mereka akan mati. Terlebih lagi, semua orang akan mati.
Ini adalah hukuman mati.
Jika mereka bisa mengubah sesuatu dalam hidup mereka, mereka dengan senang hati akan menyerahkan hidup mereka. Tapi apa yang bisa mereka ubah disini?
Bahkan dengan nyawa orang-orang yang sedang sekarat! Bahkan dengan nyawa orang-orang yang akan mati! Bahkan dengan nyawa mereka yang masih hidup! Mereka tidak bisa menghentikan gerak maju iblis itu sedetik pun!
Mengapa mereka harus melanjutkan pengorbanan yang tidak berarti ini?
“Aaaargh!”
Saat itu juga, satu nyawa lagi hilang sia-sia.
Kwaaaaaaah!
Di tengah pusaran ilmu hitam yang melonjak, itu jelas bergerak menuju lokasi mereka. Itu lambat tapi kematian yang tidak salah lagi sudah dekat.
Mata Song Hwa dipenuhi ketakutan.
Meskipun dia adalah seorang tetua Wudang, namanya tidak ada artinya di hadapan uskup. Mungkin iblis itu bahkan tidak bisa merasakan perbedaan antara dia dan murid-murid yang dia hadapi saat ini.
“Uh…”
Tangannya yang memegang pedang bergetar tanpa sadar. Dia mencoba menghunus pedangnya, tapi entah kenapa, Songmungogeom miliknya tidak keluar dari sarungnya seolah-olah terpaku di sana.
“Mundur.” -ucap Song Hwa
“Ya?” -ucap murid
Song Hwa menggigit bibirnya dengan mata merah dan, setelah ragu sejenak, mengucapkan kata-kata itu lagi.
“Mundur…” -ucap Song Hwa
Dan kemudian, itulah saatnya.
“tetua! tetua!” -ucap murid
Dari belakang, teriakan gembira terdengar. Saat Song Hwa berbalik, dia melihat seseorang berlari ke arah mereka dengan kekuatan penuh.
“Apa… ada apa?” -ucap Song Hwa
“Mereka datang! Dia telah tiba!” -ucap murid
“Dia… dia disini?!” -ucap Song Hwa
Tidak ada nama yang disebutkan, dan mereka bahkan belum pernah mendengar nama panggilannya. Namun Song Hwa langsung tahu siapa “dia” itu. Tidak ada orang lain yang seperti dia. Di antara kelompok yang menghadap uskup, hanya ada satu orang yang mampu membawa harapan.
“Astaga. mereka menakutkan setiap kali aku melihatnya.” -ucap Tang Bo
Song Hwa menoleh dengan ganas.
Seorang pria tiba-tiba berjongkok di sampingnya dan melihat ke seberang gunung. Rambut acak-acakan, jubah hitam, dan kain hijau zamrud bersulam putih menutupinya…
Mengesampingkan semua detail ini, tidak sulit untuk menebak siapa dia dari kehadiran besar yang membuat siapa pun tercekik tanpa usaha apa pun.
“Ah, Pangeran Kegelapan…” -ucap Song Hwa
Pangeran Kegelapan Tang Bo. tetua dari Keluarga Tang yang terkadang membawa ketakutan yang lebih besar dibandingkan para iblis itu sendiri. Dia tersenyum dingin, menatap ke arah uskup.
“Apakah kau yang bertanggung jawab di sini?” -ucap Tang Bo
Saat Pangeran Kegelapan bertanya tanpa menoleh, tubuh Song Hwa yang gemetar tersentak. Namun sesaat kemudian Song Hwa mengangguk penuh semangat.
“Ya, Pangeran Kegelapan!” -ucap Song Hwa
“Bawa mundur muridmu.” -ucap Tang Bo
“Apa?” -ucap Song Hwa
Saat Song Hwa bertanya dengan hampa, Tang Bo mengerutkan alisnya.
“Sudahlah. Biarpun aku mencoba menyelamatkan orang bodoh sepertimu, kau tidak akan paham.” -ucap Tang Bo
“Apa… tentang apa ini?” -ucap Song Hwa
Dan pada saat itu, terdengar suara di belakang mereka… Gedebuk.
Suara langkah kaki dari belakang membuat jantung Song Hwa berdebar kencang.
Pangeran Kegelapan Tang Bo, tentu saja, adalah seorang grandmaster yang tak tertandingi yang tidak dapat dipahami oleh Song Hwa. Bukankah Tang Bo adalah ahli tingkat tertinggi di antara para grandmaster Keluarga Tang dalam 100 tahun?
Namun, ketika musuhnya adalah sang uskup, bahkan nama bergengsi seperti Pangeran Kegelapan pun tidak bisa bersinar. Kedatangan Pangeran Kegelapan saja tidak akan memberi harapan pada murid-muridnya.
Dengan kata lain…
Song Hwa mengalihkan pandangannya yang gemetar dan menatap kosong ke arah sosok yang mendekat.
Jubah hitam. Pola bunga plum merah terukir di dada.
Rambutnya diikat erat ke belakang, tetapi tergerai tidak rapi. Namun, bukan penampilannya yang acak-acakan itulah yang menyita perhatian Song Hwa.
Itu adalah matanya.
Itu adalah tatapan sedingin es yang terlihat di antara poni yang terjatuh.
Song Hwa tanpa sadar bergumam.
“Sa… Saint Pedang.” -ucap Song Hwa
Itu benar. Hanya orang ini yang bisa menjadi harapan mereka. Menghadapi uskup iblis, satu-satunya nama yang bisa mereka teriakkan adalah nama ini.
Gedebuk. Gedebuk.
Saint Pedang Bunga Plum Chung Myung berdiri di hadapannya dan akhirnya membuka mulutnya.
“Bagaimana situasinya?” -ucap Chung Myung
Mendengar suara dingin itu, Song Hwa kembali sadar dan dengan cepat menjawab.
“K-kami mencoba untuk menahan uskup, tapi itu tidak cukup dengan kekuatan kami saat ini. Saint Pedang Bunga Plum!” -ucap Song Hwa
Dari mulut Tang Bo terdengar suara angin bersiul.
“Menahan? Apa yang kau bicarakan?” -ucap Tang Bo
“Y-ya?” -ucap Song Hwa
Pada saat itu, Saint Pedang Bunga Plum Chung Myung mencengkeram kerah baju Song Hwa dan menariknya mendekat.
Song Hwa menegang di tempatnya, bahkan tidak mampu berteriak.
“Kau.” -ucap Chung Myung
“…”
“Apakah kau seorang tetua dari Sekte Wudang?” -ucap Chung Myung
Song Hwa menganggukkan kepalanya dengan cepat.
“Y-ya…” -ucap Song Hwa
“Apa yang kau lakukan di sini?” -ucap Chung Myung
“…”
Kedua mata Chung Myung memancarkan aura menyeramkan.
“Kenapa kau hanya menonton dari belakang ketika murid-muridmu sekarat di sana? Dasar bajingan” -ucap Chung Myung
“…”
Song Hwa tetap membeku tak mampu mengeluarkan suara. Dia merasa seperti seekor binatang buas yang marah sedang menggigit tenggorokannya. Bahkan gerakan sekecil apa pun mungkin bisa membuat taring tajam itu menembus pembuluh darahnya dan membuat napasnya tercekat. Ketakutan menyempitkan tenggorokannya.
“Jika kau tidak punya rencana, majulah dan bertarunglah. Apa kau merasa mempertaruhkan nyawamu adalah hal yang sia-sia ? sehingga kau membiarkan murid-muridmu menjadi sasaran sementara kau mengawasi dari belakang?” -ucap Chung Myung
“Aku… aku…” -ucap Song Hwa
“kau benar-benar bodoh!” -ucap Chung Myung
Bammm!
Chung Myung memukul rahang Song Hwa.
Song Hwa, sambil berteriak, tidak bisa mengangkat kepalanya dan sedikit gemetar. Chung Myung memperlakukannya seperti cacing dan berbalik untuk berjalan ke depan.
Tang Bo mendecakkan lidahnya.
“Kau selamat berkat murid-muridmu itu. Jika mereka tidak dalam bahaya, semuanya tidak akan berakhir seperti ini.” -ucap Tang Bo
“…”
Mengejek Song Hwa, Tang Bo bergegas mengejar Chung Myung.
“Ah, hyung! Ayo maju bersama. Kenapa terburu-buru?” -ucap Tang Bo
Saint Pedang Bunga Plum dan Pangeran Kegelapan.
Keduanya maju tanpa ragu menuju energi magis yang mengamuk. Sepertinya energi magis telah merasakan kehadiran mereka dan menjadi lebih ganas. Namun, meskipun menerjang energi itu, mereka berdua tidak ragu-ragu dan bahkan memberikan senyuman miring.
“Berapa banyak?” -ucap Chung Myung
“Sepertinya mereka membawa sekitar dua puluh.” -ucap Tang Bo
“Artinya, kita sendirian lagi ?” -ucap Chung Myung
“…Itu benar.” -ucap Tang Bo
Srinnggg.
Chung Myung perlahan menghunus Pedang Bunga Plum miliknya. Ketegangan menyebar ke seluruh tubuhnya, membuat tulang punggungnya merinding. Kekuatan uskup cukup kuat untuk mengirimkan sinyal peringatan bahkan ke bentuk fisiknya.
“…Apakah dia seorang algojo surgawi?” -ucap Chung Myung
[Algojo > Uskup > Pengikut]
“Atau jiwa liar? [gak yakin]” -ucap Tang Bo
“Tidak masalah. Lagipula dia akan mati.” -ucap Chung Myung
Chung Myung, mengulurkan pedangnya ke bawah, berbicara dengan suara rendah.
“Saat kita membunuh orang berpangkat itu terakhir kali, bukankah kau kehilangan kesadaran selama seminggu penuh?” -ucap Chung Myung
“Jangan bicara omong kosong. Itu hanya satu minggu!” -ucap Tang Bo
“Itulah yang aku bicarakan. Jika perhatianmu kali ini teralihkan, kau mungkin akan terbunuh. Jadi, jangan ikut campur dan tetaplah di belakang.” -ucap Chung Myung
“Ingat saat kau hampir kehilangan lenganmu, dan aku memperbaikinya untukmu? Sepertinya kau dengan mudahnya melupakan hal itu. Aku khawatir kau mungkin kehilangan akal secara tidak sengaja kali ini.” -ucap Tang Bo
Chung Myung terkekeh. Saat mereka semakin dekat ke target mereka, cengkeraman pada Pedang Bunga Plum miliknya semakin erat.
“Yah, tidak ada pilihan lain.” -ucap Chung Myung
Chung Myung mengungkapkan niatnya.
“Pertama, mari kita potong leher orang itu dan lanjutkan pembicaraan kita.” -ucap Chung Myung
Tang Bo, menarik belati dari lengan bajunya, mengangguk riang.
“Aku setuju.” -ucap Tang Bo
Keduanya secara bersamaan menghantam tanah, dan dua aliran energi mirip meteor hitam dan biru menembus badai energi magis.
Hari itu, uskup lain menemui ajalnya di tepi pegunungan seribu gunung.